Menu

Dark Mode
Pemerintah Tegaskan Bansos Harus Bermanfaat, Bukan Alat Judi Daring Pemerintah Awasi Pemanfaatan Bansos, Cegah Penyalahgunaan untuk Judi Daring Pemerintah Maksimalkan Sinergi Lintas Sektor Tekan Penyelundupan Kolaborasi Lintas Kementerian Berhasil Tekan Aksi Penyelundupan Pemerintah Buktikan Pencegahan Penyelundupan Efektif Lindungi Ekonomi Negara Pemerintah Ubah Paradigma Penanganan Penyelundupan dari Reaktif Menjadi Proaktif

Opini

Data Resmi BPS Layak Jadi Acuan Utama Peningkatan Kesejahteraan

badge-check


					Data Resmi BPS Layak Jadi Acuan Utama Peningkatan Kesejahteraan Perbesar

Oleh: Doni Suherman )*

Dalam dunia kebijakan publik, data yang akurat, objektif, dan dapat dipercaya merupakan fondasi utama dalam merumuskan langkah strategis yang berdampak nyata bagi masyarakat. Di Indonesia, peran vital ini dijalankan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang secara konsisten menyajikan data sosial-ekonomi melalui pendekatan metodologis yang ketat dan independen. Di tengah dinamika pemulihan pascapandemi dan tantangan ekonomi global, data BPS menjadi kompas penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengarahkan kebijakan peningkatan kesejahteraan.

Sebagaimana ditegaskan Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh BPS mengacu pada konsumsi riil masyarakat Indonesia. Penilaian ini tidak dilakukan sembarangan, melainkan didasarkan pada data pengeluaran rumah tangga, mencerminkan konteks kolektif konsumsi di Indonesia. Pendekatan ini memperlihatkan sensitivitas metodologis terhadap karakteristik sosial-ekonomi masyarakat yang lebih kompleks dibanding sekadar indikator pendapatan. Selain itu, BPS juga secara rutin menyesuaikan metodologi agar tetap relevan dengan dinamika sosial yang terus berubah.

Pada Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) edisi Maret 2025, BPS melibatkan sekitar 345.000 rumah tangga sebagai responden. Jumlah ini merepresentasikan keragaman geografis dan demografis Indonesia secara komprehensif. Data yang dihimpun dari lapangan inilah yang menjadi dasar resmi dalam mengukur tingkat kemiskinan, ketimpangan, serta perubahan kesejahteraan masyarakat dari waktu ke waktu. Dengan metodologi yang transparan dan dapat diaudit, data BPS memberikan legitimasi kuat dalam pengambilan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy). Proses pengumpulan data dilakukan secara serentak dan terstruktur, melibatkan ribuan petugas lapangan yang telah mendapatkan pelatihan intensif.

Tak hanya pemerintah pusat, pemerintah daerah pun menjadikan data BPS sebagai acuan utama dalam merancang intervensi kebijakan. Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta, Suharini Eliawati, menyatakan pihaknya secara serius merespons kenaikan angka kemiskinan dan ketimpangan berdasarkan laporan terbaru BPS. Dalam rilis per Maret 2025, tingkat kemiskinan di Jakarta tercatat sebesar 4,28 persen, naik dari 4,14 persen pada September 2024. Kenaikan ini memang masih dalam batas moderat, tetapi menjadi sinyal penting bagi Pemprov DKI untuk meninjau kembali efektivitas program-program perlindungan sosial dan penciptaan lapangan kerja formal.

Menurut Suharini, kondisi ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi belum merata. Ketimpangan justru melebar karena meningkatnya jumlah pekerja informal dan tekanan inflasi yang masih terasa di kalangan masyarakat bawah. Oleh karena itu, peran data BPS sangat sentral dalam memetakan secara rinci kelompok masyarakat yang paling terdampak, agar kebijakan dapat diarahkan lebih tajam dan tepat sasaran. Data mikro yang terperinci dapat mengidentifikasi wilayah-wilayah yang membutuhkan intervensi lebih mendesak. Selain itu, data juga membantu mengukur efektivitas program secara temporal, apakah memberikan dampak jangka pendek maupun panjang.

Namun di balik tantangan yang ada, patut diapresiasi capaian positif pemerintah dalam menurunkan angka kemiskinan secara nasional. Berdasarkan laporan BPS yang diumumkan pada 25 Juli 2025, tingkat kemiskinan nasional mengalami penurunan dari 8,57 persen (September 2024) menjadi 8,47 persen pada Maret 2025, atau setara 23,85 juta jiwa. Penurunan ini merupakan hasil konkret dari konsistensi pemerintah dalam memperluas program perlindungan sosial, meningkatkan akses pelayanan dasar, dan memperkuat daya beli masyarakat.

Apresiasi juga datang dari elemen politik. Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Wahida Baharudin Uppa, menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada pemerintah dan seluruh komponen bangsa atas capaian tersebut. Menurutnya, penurunan drastis pada kategori kemiskinan ekstrem (dari 3,56 juta jiwa menjadi 2,38 juta jiwa) menunjukkan langkah maju dalam mengatasi bentuk ketimpangan paling parah. Di wilayah pedesaan, angka kemiskinan juga berhasil ditekan dari 11,34 persen menjadi 11,03 persen, membuktikan bahwa intervensi di wilayah-wilayah marjinal mulai menunjukkan hasil nyata.

Wahida menegaskan bahwa keberhasilan ini tidak terjadi secara otomatis, melainkan merupakan buah dari kerja sama lintas sektor: pemerintah pusat dan daerah, pelaku usaha, lembaga sosial, hingga masyarakat sipil. Kolaborasi ini menjadi contoh nyata bagaimana strategi pembangunan inklusif harus dirancang dan diimplementasikan dengan berbasis data serta evaluasi yang berkelanjutan. Ia juga mendorong agar mekanisme pelaporan dan monitoring semakin diperkuat untuk memastikan keberlanjutan capaian tersebut. Dalam konteks politik, ia menilai bahwa upaya pengentasan kemiskinan harus tetap dijaga lintas pemerintahan, tidak terhenti hanya karena pergantian kepemimpinan.

Selain sebagai tolak ukur kesejahteraan, data BPS juga berperan penting dalam mengukur efektivitas program-program seperti bantuan langsung tunai, subsidi pangan, jaminan kesehatan, hingga pembukaan lapangan kerja melalui proyek strategis nasional. Data statistik tidak lagi bersifat pasif, tetapi menjadi alat aktif yang membentuk arah dan prioritas pembangunan nasional. Setiap program yang dicanangkan pemerintah wajib memiliki indikator keberhasilan yang merujuk pada data statistik resmi. Tanpa indikator yang jelas, evaluasi program menjadi tidak terarah dan berisiko mubazir. Dengan pendekatan ini, setiap rupiah yang dikeluarkan negara bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan data.

Dalam konteks kebijakan fiskal dan makroekonomi, data dari BPS membantu merumuskan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar lebih berpihak pada rakyat miskin dan rentan. Misalnya, data kemiskinan ekstrem dijadikan dasar dalam menentukan lokasi prioritas program pengentasan kemiskinan yang terintegrasi, seperti penguatan infrastruktur dasar di desa tertinggal atau penyediaan air bersih dan sanitasi. Dengan adanya data yang akurat, pemerintah bisa mengalokasikan anggaran dengan efisien dan tepat sasaran. Selain itu, perencanaan fiskal yang berbasis data juga meminimalisir risiko pengeluaran yang tidak efektif.

Hal ini menunjukkan bahwa data resmi dari BPS harus menjadi satu-satunya rujukan utama dalam menganalisis kondisi sosial-ekonomi Indonesia. Di tengah banyaknya informasi yang beredar, kepercayaan publik terhadap data yang valid dan metodologis sangat krusial untuk menghindari mispersepsi dan kebijakan yang keliru. Sudah saatnya masyarakat, pengamat, media, dan seluruh pemangku kepentingan menjadikan data BPS sebagai titik awal dalam membaca arah ekonomi bangsa. Sebab hanya dengan dasar yang kuat, kita dapat membangun kebijakan yang adil, inklusif, dan berorientasi pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

)* Analis Ekonomi Makro

Facebook Comments Box

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Pemerintah Tegaskan Bansos Harus Bermanfaat, Bukan Alat Judi Daring

31 July 2025 - 09:30

Pemerintah Maksimalkan Sinergi Lintas Sektor Tekan Penyelundupan

31 July 2025 - 09:30

Kolaborasi Lintas Kementerian Berhasil Tekan Aksi Penyelundupan

31 July 2025 - 09:30

Danantara Perkuat Kolaborasi dengan Instansi Top Nasional dan Internasional

31 July 2025 - 09:30

Pemerintah Kawal Integritas Sistem Keuangan dari Pencucian Uang

31 July 2025 - 09:30

Trending on Opini